MEMAHAMI
BERBAGAI
ASPEK-ASPEK
BERCERITA
Pendahuluan
Di Inggris konon pernah diadakan penyebaran angket kepada
orang-orang dewasa. Kepada mereka ditanyakan pada saat apa mereka benar-benar
merasa bahagia di masa kanak-kanan dulu. Jawaban mereka : “Pada saat orang
tua mereka membacakan buku atau Cerita” Apabila pertanyaan yang sama
diajukan kepada orang-orang dewasa di Indonesia, saya kira jawabannya tak akan
jauh berbeda. Bahkan, khusus mengenai cerita, sampai orang sudah dewasapun
masih tetap menggemarinya. Tengoklah obrolan kita juga akan semakin ‘renyah’
bila kita saling bercerita dengan penuh semangat. Cerita memang ‘gurih’. Semua
orang tak pandak usia, menyukainya …… Cerita atau dongeng, sih? Lazimnya
memang orang lebih banyak mengaitkan dongeng dengan cerita-cerita klasik atau
cerita rakyat, atau cerita-cerita fiktif dengan latar cerita yang berbau ‘zaman
dahulu kala’. Tidak heran bila ceritanya banyak dimulai dengan kata-kata klasik
: pada zaman dahulu kala …., Dulu, disuatu desa…, dan lain-lain. Untuk
cerita-cerita rakyat yang sudah sangat terkenal kita biasa mengenalnya sebagai legenda.
Sedangkan cerita pengertiannya lebih luas, mencakup segala macam, baik yang
ber-settingPertama, cerita pada umumnya lebih berkesan daripada nasehat
murni, sehingga pada umumnya cerita terekam jauh lebih kuat dalam memori
manusia. Cerita-cerita yang kita dengar dimasa kecil masih bisa kita ingat
secara utuh selama berpuluh-puluh tahun kemudian. Kedua, melalui cerita
manuasi diajar untuk mengambil hikmah tanpa merasa digurui. Memang harus
diakui, sering kali hati kita tidak merasa nyaman bila harus dikhotbahi dengan
segerobak nasehat yang berkepanjangan. Kita malah merasa dongkol. Apalagi bila
nasehat itu nadanya cenderung merendahkan harga diri kita. Uraian diatas
menggambarkan bahwa cerita sangat erat kaitannya dengan dunia pendidikan.
Konsekwensinya, setiap pendidik yang peduli pada pembentukan kepribadian yang
luhur, harus ‘merasa ikut diperintah’ oleh Tuhan untuk banyak-banyak bercerita,
sebagaimana Tuhan memerintahkannya kepada para Rasul . Terlebih-lebih bagi para
Ibu, yang memang memiliki posisi strategis sebagai kaum pendidik. Saya kira,
secara demikian saya berani mengharuskan kepada setiap Ibu untuk belajar
bercerita. Penguasaan terhadap keterampilan ini sangat urgen bagi Ibu, terutama
dalam menjalankan peran pokoknya sebagai pendidik generasi. masa lalu, masa
kini, bahkan mungkin masa yang akan datang (cerita futuristik). Cerita juga
mencakup kisah-kisah sejarah yang benar-benar pernah terjadi maupun
cerita-cerita rekaan, cerita fiktif. Baiklah, agar terasa lebih luas
cakupannya, untuk selanjutnya saya akan lebih banyak memakai istilah ‘cerita’
saja. Bercerita adalah metode kominikasi universal yang sangat berpengaruh
kepada jiwa manusia. Bahkan dalam teks kitab sucipun banyak berisi banyak
sekali cerita-cerita, sebagai diulang-ulang dengan gaya yang berbeda. Tuhan
memang mendidik jiwa manusia menuju keimanan dan kebersihan rohani, dengan
mengajak manusia berfikir dan merenung, menghayati dan meresapi pesan-pesan
moral yang terdapat dalam kitab suci, Karena Dia adalah dzat yang Maha tahu
akan jiwa manusia, mengetuk hati manusia antara lain dengan cerita-cerita.
Karena ini adalah metode yang sangat efektif untuk mempengaruhi jiwa manusia.
Cerita yang berkesan memang selalu menarik perhatian manusia. Mengingat begitu
besarnya perhatian Tuhan pada metode bercerita ini, tentu terbersit pertanyaan
dihati kita, mengapa metode cerita itu efektif sekali ? jawabannya tidak sulit.
Fungsi Cerita bagi Pendidikan anak-anak
Kedudukan strategis cerita dalam dunia pendidikan, termasuk
menurut sudut pandang moralitas, telah tergambar dengan amat jelas diatas.
Cerita memang banyak sekali manfaatnya bagi anak-anak. Paling tidak cerita
mempunyai beberapa fungsi penting antara lain :
1. Sebagai
sarana kontak batin antara pendidik (termasuk orang tuanya) dengan anak didik.
2. Sebagai
media untuk menyampaikan pesan-pesan moral atau nilai-nilai ajaran tertentu.
3. Sebagai
metode untuk memberikan bekal kepada anak didik agar mampu melakukan proses identifikasi diri maupun identifikasi perbuatan (akhlaq).
4. Sebagai
sarana pendidikan emosi (perasaan) anak didik
5. Sebagai
sarana pendidikan fantasi/imajinasi/kreativitas (daya cipta) anak didik.
6. Sebagai
sarana pendidikan bahasa anak didik
7. Sebagai
sarana pendidikan daya pikir an anak didik
8. Sebagai sarana
untuk memperkaya pengalaman batin dan khasanah pengetahuan anak didik.
9. Sebagai
salah satu metode untuk memberikan terapi pada anak-anak yang mengalami masalah
psikologis.
10. Sebagai sarana hiburan dan
pencegah kejenuhan.
Melalui cerita-cerita yang baik, sesungguhnya anak-anak
tidak hanya memperoleh kesenangan atau hiburan saja, tetapi mendapatkan
pendidikan yang jauh lebih luas. Bahkan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa
cerita ternyata menyentuh berbagai aspek pembentukan kepribadian anak-anak.
Cerita secara faktual erat sekali hubungannya dengan pembentukkan karakter,
bukan saja karakter manusia secara individual, tetapi juga karakter manusia
dalam sebuah bangsa. Tidak heran bila banyak pakar kebudayaan yang menyatakan
bahwa nilai jati diri, karakter dan kepribadian sebuah bangsa, dapat dilihat
dari cerita-cerita rakyat yang hidup dibangsa itu. Kalau begitu, jelas
bercerita bukanlah sesuatu yang berakibat sederhana. Cerita berpengaruh amat
besar dalam jangka panjang, sampai-sampai dikatakan menjadi faktor dominan bagi
bangunan karakter manusia disuatu bangsa.
Jenis-jenis Cerita
Sebelum seseorang bercerita, ia harus memahami terlebih
dahulu jenis cerita apa yang hendak disampaikannya. Memang, cerita banyak
sekali macamnya. Tentu saja masing-masing jenis cerita mempunyai karakteristik
yang berbeda. Oleh karena itu, agar kita dapat bercerita dengan tepat, kita
terlebih dahulu harus menentukan terlebih dahulu jenis ceritanya. Pemilihan
jenis cerita antara lain ditentukan oleh :
1. Tingkat
usia pendengar
2. Jumlah
pendengar
3. Tingkat
heterogenitas (keragaman) pendengar
4. Tujuan
penyampaian materi
5. Suasana
acara
6. Suasana
(situasi dan kondisi) pendengar dan sebagainya.
Jenis-jenis cerita dapat dibedakan dari berbagai sudut
pandang. Dari sudut pandang itulah kita dapat memilah-milah jenis ceritanya.
Dibawah ini akan diuraikan sebuah bagan sederhana mengenai berbagai sudut
pandang dan jenis-jenis ceritanya :
1. Berdasarkan
Pelakunya
a. Fabel
(cerita tentang dunia binatang) dan dunia tumbuhan
b.Dunia benda-benda mati
c. Dunia manusia
d.Campuran/kombinasi
2. Berdasarkan
Kejadiannya
a Cerita sejarah
(tarikh) b. Cerita fiksi (rekaan)
c Cerita fiksi sejarah
3. Berdasarkan
Sifat Waktu Penyajiannya
a.Cerita bersambung
b.Cerita serial
c. Cerita lepas
d.Cerita sisipan
e.Cerita ilustrasi
4. Berdasarkan
Sifat dan Jumlah Pendengarnya
a.
Cerita Privat 1). Cerita pengantar tidur 2). Cerita lingkaran
pribadi (individual atau kelompok sangat kecil)
b. Cerita
Kelas 1). Kelas kecil (s.d. ± 20 anak) 2). Kelas besar (s.d. ± 20 –
40 anak)
c. Cerita untuk forum
terbuka
5. Berdasarkan
Teknik Penyampaiannya
a. Cerita langsung/lepas naskah (direct – story)
b. Membacakan
cerita (story-reading)
6. Berdasarkan
Pemanfaatan Peraga
a.Bercerita dengan alat peraga
b. Bercerita tanpa
alat peraga
Sekali lagi, pemilihan jenis cerita diatas sangat berpengaruh pada
teknik penyajiannya.
Oleh sebab itu, bila penyajian cerita kita ingin mencapai
sasarannya, kita sejak semula harus mempertimbangkannya secara seksama. Sebab,
masing-masing jenis cerita membutuhkan teknik, gaya dan pendekatan yang
berbeda. Selain itu, pemahaman yang mendalam akan jenis dan karakter pendengar
(audience) juga sangat dibutuhkan.
Faktor-faktor Pokok Cerita
Untuk mencapai keberhasilan dalam bercerita ada dua faktor
pokok yang harus diperhatikan oleh setiap pendidik yang akan bercerita, yaitu :
1.
Naskah/skenario atau setidaknya sinopsis (kerangka)
2. Teknik
penyajian Untuk lebih jelasnya kedua faktor pokok diatas dapat diuraikan secara
lebih lengkap sebagai berikut :
1. Menyiapkan naskah cerita
a. Dari sumber cerita yang telah ada
Seorang pendidik yang akan bercerita pasti harus menentukan
terlebih dahulu gambaran jalan ceritanya. Ia bisa saja mengambil dari
buku-buku, majalah atau komik-komik tertentu. Bila langkah ini yang diambil
maka dikatakan bahwa pendidik itu menggunakan sumber cerita yang sudah ada.
Tentu saja cerita yang dipilih harus sudah dipertimbangkan masak-masak. Apakah
cerita itu tepat ? Apakah cerita itu mempunyai bobot dan greget yang
kuat ? Apakah cerita itu memberikan ruang gerak yang luas kepada pencerita
untuk mengembangkan teknik penyajiannya ? Apakah cerita itu alurnya pas, tidak
terlalu singkat dan tidak terlalu panjang ?. Boleh jadi ada naskah cerita
yang perlu diperkaya adegannya, perlu diperdalam nilai konfliknya, atau perlu
dimodifikasi/diubah ending-nya, dan sebagainya. Nah, bila sudah yakin
benar atas pilihan ceritanya, maka seorang pencerita harus melanjutkannya
dengan langkah-langkah berikutnya, sebagai berikut : (agar lebih lengkap
langkah pertama disebutkan kembali)
1). Memilih naskah cerita
yang tepat
2). Mengubah naskah itu, dari naskah dengan bahasa
tulis menjadi naskah yang siap dibacakan secara lisan (naskah dengan bahasa
lisan). Ingatlah, naskah itu tidak hanya harus bagus untuk dibaca, tetapi harus
menarik untuk dibacakan.
3). Membaca naskah baru itu
berulang-ulang sehingga pencerita yakin bahwa dirinya benar-benar menguasai
alur/plot cerita (Nama-nama tokohnya juga jangan sampai lupa).
4). Menyiapkan bumbu-bumbu cerita (bila perlu tertulis dalam
naskah) Untuk jenis cerita langsung (direct story)story reading)
prosedur diatas mutlak diperlukan, terutama bagi pemula. Prosedur.
5) tetap
penting untuk pembacaan cerita (story reading) sebab bila pembaca cerita
telah setengah hafal, maka ia akan terhindar dari pembacaan cerita yang
tersendat-sendat, salah baca, salah interpretasi atas sifat adegan ternyata
kurang mendapat respon positif dan pendengarannya, karena pembaca cerita kurang
menguasai segi-segi detai dari penyajian cerita tersebut. Untuk menghindari
kesalahan interpretasi, sebaliknya naskah cerita diberi tanda-tanda khusus
(misalnya digaris bawahi, distrabilo boss, dan sebagainya) atau penulisan
naskahnya dirancang mirip naskah drama. seorang pencerita yang berpengalamanpun
biasanya melakukan prosedur yang sama, meskipun prosedur (2) dan (4) tidak
dilakukan secara khusus. iA cukup melakukannya dialam imajinasinya sendiri. Tetapi untuk jenis cerita dengan membaca naskah
b. Mengarang Cerita Sendiri
Bila seorang pencerita berkehendak untuk membuat naskah
sendiri, maka yang terpenting ia harus menentukan terlebih dahulu alur atau
plot cerita. Bisa dalam bentuk karangan/bagan alur/plot cerita atau sinopsis,
bisa pula tertulis secara lengkap/detail. Bila ditulis secara lengkap,
sebagaimana tergambar diatas, harus ditulis dengan gaya bahasa lisan.
Selanjutnya prosedurnya relatif sama dengan prosedur diatas. Yang penting
alur/plot cerita harus benar dikuasai.
2. Teknis Penyajian
Bila faktor naskah ‘beres’, maka faktor kedua yang akan
menentukan berhasil tidaknya seseorang dalam bercerita adalah faktor teknis
penyajiannya. Seorang pencerita perlu mengasah keterampilannya dalam bercerita,
baik dalam olah vokal, olah gerak, ekspresi dan sebagainya. Seorang pencerita
harus pandai-pandai mengembangkan berbagai unsur penyajian cerita sehingga
terjadi harmoni yang tepat. Secara garis besar unsur-unsur penyajian ceritayang harus dikombinasikan secara proporsional adalah sebagai berikut:
(1) Narasi
(2) Dialog
(3) Ekspresi (terutama mimik muka)
(4) Visualisasi gerak/Peragaan (acting)
(5) Ilustrasi suara, baik suara lazim maupun suara tak lazim
(6) Media/alat
peraga (bila ada)
(7) Teknis ilustrasi lainnya, misalnya lagu, permainan,
musik, dan sebagainya.
a. Teknik menceritakan sejarah
1) Kuasailah alur cerita,
adegan, dialog dari sumber bacaanb yang terpercaya. Bila perlu bacalah
berulang-ulang hingga benar-benar dikuasai. Ingatlah, penguasaan terhadap pakem
cerita amat esensial pada jenis cerita ini, bila tidak terkuasai kita akan
terjebak kepada improvisasi yang merusak.
2)
Ceritakan kisah sejarah apa adanya, tanpa bumbu-bumbu cerita yang tidak
relevan, jangan bumbui kisah perjuangan yamh agung dengan humor, apabila memang
dirasa tidak tepat.
3) Usaha untuk membuat cerita
lebih menarik biasanya difokuskan pada unsur suspence, ekspresi, penekanan pada
adegan-adegan heroik dan dialog yang kuat.
4)
Bagian-bagian cerita yang belum saatnya disampaikan pada usia anak tertentu
hendaknya disunting secara bijaksana, tanpa mengganggu keutuhan
sejarah.usahakanlah agar cerita yang terlalu bercabang-cabang dapat terangkai
dalam satu alur yang padu.
5) Sampaikanlah cerita
sejarah pada sekelompok anak yang memang belum pernah mendengarkannya, Bila ada
anak yang tahu jalan ceritanya, ingatkan sejak awal agar tidak mengganggu
teman-temannya dengan dengan memberi komentar dan tebakan-tebakan, Bila tidak
tahan untuk memberi komentar ditengah-tengah cerita, ingatkanlah kembali secara
bijaksana. Tegurlah bahwa apa yang diucapkannya itu mengganggu kita, namun
tetaplah tersenyum ramah.
6) Ajaklah anak didik
kita mengambil hikmah dari kisah itu, berikan motivasi untuk meneladani tokoh
dan perbuatan yang mulia, ajaklah mereka menjauhi perbuatan yang tercela.
Sebaiknya nasehat yang diselipokan ditengah cerita tidak terlalu panjang. Hall
ini akan terasa menjengkelkan bagi anak-anak, hikmah sebaiknya disampaikan pada
akhir cerita.
b. Teknik Menceritakan Fiksi
Berikut ini adalah langkah-langkah praktis penyajian cerita
fiksi:
1)
Satukan perhatian anak
2)
Friendship
3)
Total : Antusias/bersungguh sungguh
4)
Tentukan tujuan dan alur cerita
5)
Pilihlah setting awalnya
6)
Tentukan tokoh-tokohnya : Protagonis, Antagonis, Tritagonis, Pembantu
7)
Munculkan konflik antar tokoh diatas
8)
Detailkan cerita/terperinci : Personifikasi tokoh-tokohnya, adegan-adegannya,
dialog-dialognya,
9)
Dramatisasi/menyangatkan
10) Ilustrasi
suara : Lazim, tak lazim
11) Suspence dan
Humor
12) Perhatikan
situasi dan kondisi
13) Happy ending
Untuk mampu menguasai aspek-aspek keterampilan teknis dari
unsur penyajian cerita diatas tentu saja membutuhkan persiapan yang baik.
Selain itu, keluasan dalam bercerita sehingga berbagai unsur diatas dapat
tersaji secara padu hanya dapat dikuasai dengan pengalaman dan latihan-latihan
yang tekun. Bercerita memang salah satu bagian dari keterampilan mengajar.
Sebagai sebuah keterampilan penguasaannya tidak cukup hanya dengan memahami
ilmunya secara teoritik saja. Yang lebih penting dari itu adalah keberanian dan
ketekunan dalam mencobanya secara langsung. Itulah sebabnya, latihan-latihan
tertentu yang rutin sangat dibutuhkan. Yang jelas, keterampilan teknis
bercerita hanya dapat dikembangkan melalui latihan dan pengalaman praktik. Nah,
selamat berlatih, selamat mencoba, dan ….. selamat bercerita ….!!!! .